
Konflik antara Rusia dan Ukraina yang telah berlangsung sejak Februari 2022 masih jauh dari kata usai. Meski tekanan diplomatik internasional terus meningkat dan seruan untuk berdamai datang dari berbagai negara, Ukraina hingga kini belum menunjukkan tanda-tanda ingin menghentikan pertempuran dan merundingkan perdamaian dengan Rusia.
Situasi ini memunculkan pertanyaan besar: Apa alasan di balik sikap tegas Ukraina dalam mempertahankan perlawanan, dan apa saja faktor yang membuat upaya perdamaian sulit terwujud?
Mengapa Ukraina Enggan Berdamai?
Beberapa faktor utama membuat Ukraina tetap bertahan dan belum menunjukkan keinginan untuk berdamai dengan Rusia:
1. Kedaulatan dan Integritas Wilayah
Bagi Ukraina, konflik ini bukan hanya persoalan politik atau ekonomi, tetapi lebih pada mempertahankan kedaulatan dan integritas wilayah. Aneksasi Krimea pada 2014 dan dukungan Rusia terhadap kelompok separatis di Donetsk dan Luhansk menjadi trauma mendalam yang memotivasi Ukraina untuk tidak menyerah begitu saja.
2. Dukungan Militer dari Negara Barat
Ukraina telah menerima dukungan militer besar-besaran dari negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat dan negara-negara anggota NATO. Bantuan berupa persenjataan canggih, pelatihan militer, dan dukungan intelijen membuat Ukraina merasa memiliki kekuatan untuk terus bertahan dan melawan agresi Rusia.
3. Tekanan Internal dan Dukungan Publik
Di dalam negeri, Presiden Volodymyr Zelensky menghadapi tekanan besar untuk tidak tunduk pada Rusia. Masyarakat Ukraina, yang merasa terancam eksistensinya sebagai negara merdeka, mendukung sikap tegas pemerintah. Rasa nasionalisme yang kuat dan solidaritas rakyat justru menguat selama konflik berlangsung.
4. Trauma Sejarah
Ukraina memiliki pengalaman pahit di bawah dominasi Uni Soviet, dan bagi banyak warga, perdamaian dengan Rusia dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap perjuangan meraih kemerdekaan pada 1991. Oleh karena itu, mereka memilih untuk bertahan meskipun dalam kondisi yang sangat sulit.
Upaya Damai yang Gagal
Sejak konflik dimulai, beberapa upaya damai telah dilakukan, baik melalui mediasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) maupun diplomasi oleh negara-negara netral seperti Turki dan China. Namun, kesepakatan yang dihasilkan selalu berujung pada kebuntuan.
“Rusia ingin Ukraina tunduk, sementara Ukraina tidak mau kehilangan martabat dan integritas teritorialnya. Ini membuat negosiasi sulit dicapai,” ujar seorang analis geopolitik dari Eropa Timur.
Selain itu, tuntutan Rusia untuk mengakui aneksasi Krimea dan status kemerdekaan Donetsk serta Luhansk selalu menjadi batu sandungan terbesar dalam setiap pembicaraan damai. Ukraina menolak keras untuk mengorbankan sebagian wilayahnya demi mencapai perdamaian.
Dinamika Internasional: Pengaruh Geopolitik
Konflik Rusia-Ukraina tidak hanya melibatkan dua negara tersebut, tetapi juga menjadi ajang tarik-menarik kepentingan geopolitik global. Barat, terutama Amerika Serikat dan Uni Eropa, terus mendukung Ukraina sebagai bagian dari strategi menahan ekspansi Rusia.
Sebaliknya, Rusia merasa terancam oleh potensi bergabungnya Ukraina dengan NATO. Hal ini dianggap sebagai ancaman langsung terhadap keamanan nasionalnya. Oleh sebab itu, Rusia juga tetap bersikukuh mempertahankan kontrol di wilayah-wilayah strategis.
Akibat Perang yang Berlarut-larut
Dampak dari konflik yang terus berlanjut sangat besar, tidak hanya bagi kedua negara tetapi juga dunia internasional:
- Krisis Energi Global: Sanksi terhadap Rusia membuat pasokan energi dunia terganggu, menyebabkan harga minyak dan gas melonjak.
- Krisis Kemanusiaan: Jutaan warga Ukraina mengungsi ke negara-negara tetangga akibat pertempuran yang tak kunjung usai.
- Ketegangan Politik Internasional: Ketegangan antara Rusia dan Barat semakin meningkat, memicu perlombaan senjata dan eskalasi militer di kawasan Eropa Timur.
Adakah Harapan untuk Perdamaian?
Walaupun situasi saat ini masih memanas, harapan untuk perdamaian tetap ada. Beberapa pengamat menilai bahwa jalan terbaik menuju perdamaian adalah melalui negosiasi yang melibatkan lebih banyak pihak netral. Turki dan China mungkin bisa menjadi mediator efektif mengingat hubungan baik mereka dengan kedua belah pihak.
Namun, selama kepentingan strategis dan politik belum mencapai titik kompromi, baik Rusia maupun Ukraina tampaknya akan terus bertahan pada posisi masing-masing.
Keengganan Ukraina untuk berdamai dengan Rusia bukan sekadar soal politik, tetapi juga tentang menjaga harga diri sebagai negara merdeka. Dengan dukungan Barat yang kuat dan semangat nasionalisme yang tinggi, Ukraina merasa masih memiliki kekuatan untuk bertahan.
Sementara itu, Rusia tetap bersikeras mempertahankan klaimnya atas wilayah-wilayah strategis. Di tengah kebuntuan ini, dunia internasional hanya bisa berharap agar ada titik temu yang dapat mengakhiri penderitaan rakyat dan menghentikan konflik yang telah merusak stabilitas kawasan serta ekonomi global.